Kenanganku Terhadap Perjuangan Ayah Yang Tak Kenal Lelah

 Sebagai anak bungsu yang lahir di Purwokerto pada 15 Pebruari 1944, aku betul-betul “koredan” atau akhir/sisa dari masakan orang tuaku. Masa balitaku berada di era penjajahan Jepang dan kemudian Belanda yang ingin menjajah kembali Negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Situasi dan kondisi perang gerilya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan tersebut menyebabkan aku ikut orang tuaku terpaksa mengungsi keluar kota, ke desa Karangrau sekitar 10 km dari Purwokerto. Kebetulan ada teman Alamrhum yang berbaik hati memberikan tempat menumpang selama mengungsi. Hidup di pengungsian pastilah serba sulit dan berat, sampai-sampai kakakku Soetono meninggal dunia dalam usia balita karena sakit dan kurang gizi.

Tahun 1950 aku masuk Sekolah Dasar (SD) di Purwokerto Kulon yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah. Berangkat dan pulang sekolah harus jalan kaki, karena tidak punya sepeda. Entah kenapa selama di SD aku tidak pernah diajar oleh Almarhum, walaupun beliau adalah Guru di sekolah tersebut. Namun demikian bila di rumah, Almarhum tetap mendidik disiplin dan mengawasiku dalam belajar. Almarhum terkenal sebagai seorang guru yang sangat disiplin dan professional serta berdedikasi tinggi berdedikasi tinggi, sehingga sangat disegani oleh murid-murid dan rekan-rekan guru lainnya. Aku ingat dan melihat sendiri beliau selalu membuat persiapan mengajar yang lengkap untuk esok harinya. Tulisan beliau sangat bagus dan tebal tipisnya teratur sangat rapi.

Tahun 1955 Almarhum pensiun dengan hormat sebagai Guru SD. Setelah pensiun, Almarhum tidak tinggal di rumah saja, tetapi terus berjuang untuk menghidupi keluarga dan biaya sekolah putera-puterinya. Beliau kemudian menjadi petani penggarap, menyewa sebidang sawah milik orang lain untuk dikerjakan dan dikelola. Salah satu hasilnya, aku dibelikan sepeda sebagai hadiah karena lulus SD dengan nilai terbaik di sekolah. Sepeda inilah yang kemudian aku gunakan untuk pergi pulang sekolah di SMP Negeri I di Kranji, dan SMA Negeri II B di Karangkobar, yang berjarak masing-masing sekitar 5 km dan 6 km dari rumah. 

Sejak sekolah SD sampai dengan SMA, aku tinggal sendiri serumah dengan Almarhum dan Ibu, karena kakak-kakakku tersebar di luar Purwokerto untuk melanjutkan sekolah atau bekerja. Kecuali mas Harto yang baru meninggalkan Purwokerto sekitar tahun 1953 ke Surabaya dan tinggal di rumah Mas Bandi untuk meneruskan sekolah SMA. Sedangkan aku sendiri meninggalkan Purwokerto setelah lulus SMA tahun 1962 untuk melanjutkan sekolah yang gratis yaitu di Akademi Angkatan Laut Surabaya.

Kesanku yang mendalam terhadap Almarhum justru setelah beliau pensiun, namun beliau terus berjuang, dengan bekerja sebagai petani penggarap, untuk membiayai hidup dan biaya sekolah putera-puterinya di luar Purwokerto. Pada periode masih dinas sebagai Guru, puteranya yang sudah bekerja baru Mas Bandi dan Yu Dirah. Sedangkan setelah pensiun, putera-puteri lainnya statusnya masih sekolah yang membutuhkan biaya. Dalam konteks inilah yang dimaksud dengan aku sebagai “koredan” yang relative tidak enak. Biasanya anak bungsu itu dimanja dan dapat fasilitas dan perlakuan yang lebih dari pada kakak-kakaknya. Tetapi bagiku tidak demikian halnya karena kondisi Almarhum dan keluarga memang tidak memungkinkan.

Semasa menjadi petani penggarap, pada saat persiapan dan masa tanam padi, pagi-pagi buta Amarhum berangkat ke sawah yang berjarak sekitar 2 km dengan bertelanjang dada menyandang cangkul untuk membuat “galengan” (pematang), membajak tanah dan sebagainya dengan dibantu beberapa orang sebagai pekerja upah harian. Siang hari, sepulang sekolah aku pergi ke sawah dengan menjinjing di tangan kanan sebuah bakul yang berisi makan siang yang dimasak oleh Ibu, dan di tangan kiri menjinjing sebuah “ceret” yang berisi air minum untuk Almarhum. Aku lihat betapa lahapnya Almarhum makan siang tersebut.(saat menulis ini aku tidak bisa menahan air mataku mengalir deras, karena terharu mengingat perpaduan perjuangan hidup Bapak dan Ibu yang tak kenal lelah demi masa depan putera-puterinya).Pada kesempatan tersebut aku tidak lupa bermain-main yang bermanfaat, yaitu menangkap belalang dan jangkrik serta belut yang ada di sekitar pematang sawah, yang hasilnya bisa digoreng atau dibakar di rumah oleh Ibu sebagai tambahan lauk pauk.

Pada saat “panen” (menuai padi) tiba , maka sesuai azas gotong royong , kebersamaan dan keadilan yang berkembang pada masa itu, maka yang menuai padi adalah masyarakat kampung dan sekitar secara bersama-sama, kemudian hasilnya bersama-sama dibawa ke rumah kita. Di depan rumah, mereka berjajar dengan hasil panenannya masing-masing, kemudian Almahum dan Ibu membagibagi, yang sepertiga untuk mereka, dan yang dua pertiga untuk kita sebagai pemilik/pengelola. Jadi dalam hal ini Almarhum telah melaksanakan azas gotong royong, kebersamaan dan keadilan secara konsisten.

Selanjutnya bagian yang untuk kita disimpan di “lumbung” (ruangan/kamar untuk menyimpan padi) dalam rumah. Pada saat tertentu sebelum menanak nasi, Ibu menumbuk padi itu terlebih dulu untuk dijadikan beras. Kadang-kadang Ibu mengajak beberapa orang untuk menumbuk padi tersebut bersama-sama, sehingga suaranya cukup ramai bertalu-talu.

Semasa menjadi petani penggarap, pada saat persiapan dan masa tanam padi, pagi-pagi buta Amarhum berangkat ke sawah yang berjarak sekitar 2 km dengan bertelanjang dada menyandang cangkul untuk membuat “galengan” (pematang), membajak tanah dan sebagainya dengan dibantu beberapa orang sebagai pekerja upah harian. Siang hari, sepulang sekolah aku pergi ke sawah dengan menjinjing di tangan kanan sebuah bakul yang berisi makan siang yang dimasak oleh Ibu, dan di tangan kiri menjinjing sebuah “ceret” yang berisi air minum untuk Almarhum. Aku lihat betapa lahapnya Almarhum makan siang tersebut.(saat menulis ini aku tidak bisa menahan air mataku mengalir deras, karena terharu mengingat perpaduan perjuangan hidup Bapak dan Ibu yang tak kenal lelah demi masa depan putera-puterinya).Pada kesempatan tersebut aku tidak lupa bermain-main yang bermanfaat, yaitu menangkap belalang dan jangkrik serta belut yang ada di sekitar pematang sawah, yang hasilnya bisa digoreng atau dibakar di rumah oleh Ibu sebagai tambahan lauk pauk.
Pada saat “panen” (menuai padi) tiba , maka sesuai azas gotong royong , kebersamaan dan keadilan yang berkembang pada masa itu, maka yang menuai padi adalah masyarakat kampung dan sekitar secara bersama-sama, kemudian hasilnya bersama-sama dibawa ke rumah kita. Di depan rumah, mereka berjajar dengan hasil panenannya masing-masing, kemudian Almahum dan Ibu membagibagi, yang sepertiga untuk mereka, dan yang dua pertiga untuk kita sebagai pemilik/pengelola. Jadi dalam hal ini Almarhum telah melaksanakan azas gotong royong, kebersamaan dan keadilan secara konsisten.

Selanjutnya bagian yang untuk kita disimpan di “lumbung” (ruangan/kamar untuk menyimpan padi) dalam rumah. Pada saat tertentu sebelum menanak nasi, Ibu menumbuk padi itu terlebih dulu untuk dijadikan beras. Kadang-kadang Ibu mengajak beberapa orang untuk menumbuk padi tersebut bersama-sama, sehingga suaranya cukup ramai bertalu-talu.

Semasa aku masih remaja sampai dengan SMP, rumah kita belum direnovasi, masih punya halaman, tanaman dan pohon sawo, Sedangkan dinding rumahnya masih “gedeg” (dinding dari bambu), lantainya tanah biasa dan belum ada listrik. Jadi pada waktu itu, kalau aku belajar malam menggunakan lampu “teplok” (minyak). Pohon sawo buahnya manis dan lebat. Kadang-kadang aku belajar atau membaca komik (cerita Mahabarata, Flash Gordon, Suku Apache) di atas pohon sawo karena rimbun dan angin sumilir. Selain itu pekarangannya ditanami bunga melati yang cukup banyak. Buah sawo dan bunga melati inil dijual ke pasar oleh Ibu untuk menambah uang belanja. Disamping itu, memang Ibu secara rutin berjualan makanan ke pasar. Yang memasak/membuat Ibu sendiri. Bila hari libur atau masuk sekolah siang, kadang aku yang membantu Ibu mengantar jualan tersebut ke pasar.

Selain itu tugasku setiap hari “nyirami” tanaman bunga melati dan pohon sawo supaya bisa tumbuh subur. Hasil jualan ini cukup lumayan bisa membantu meringankan Almarhum untuk membiayai sekolah putera-puterinya.

Dalam kehidupan sehari-hari setelah pensiun, yang aku lihat dan rasakan adalah bahwa Almarhum adalah seorang pekerja keras, tidak banyak bicara, jarang marah, taat kepada agama dan keyakinannya, pola hidup dan pola makannya teratur, dispiln dan disegani masyarakat. Almarhum juga mempelajari “ilmu Kejawen” yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari, makannya teratur, dispiln dan disegani masyarakat. Almarhum juga mempelajari “ilmu Kejawen” yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya beliau mempunyai kebiasaan bila makan, pasti ada yang disisakan. Filosofinya adalah selalu memikirkan dan mempersiapkan sesuatu untuk keturunannya. Bangun pagi selalu lebih dini, sekitar jam tiga atau empat , lalu mandi dan mencuci baju/pakaian puteranya. Filosofinya adalah beliau ingin membersihkan dosadosa/
kesalahan keturunannya. Setelah itu selalu jalan pagi keluar sampai 1 jam, tidak ada rasa takut, karena yakin “ada yang menjaga dan melindunginya”. Jalan pagi ini kenyataannya memang olah raga yang murah, baik dan menyehatkan.

Selain itu, oleh masyarakat sekitar beliau dianggap mempunyai kelebihan bisa mengobati orang yang sakit. Aku sering melihat bila ada orang datang meminta tolong untuk disembuhkan sakitnya, maka Almarhum lalu masuk kamar dengan membawa gelas berisi air putih. Beberapa saat kemudian beliau keluar dan memberikan gelas yang berisi air tersebut kepada “pasiennya” untuk diminum. Ternyata kebanyakan dari mereka yang minta tolong tersebut dengan seijin Allah Swt. bisa sembuh.

Berkaitan dengan keterbatasan dan kesederhanaan Almarhum, ada beberapa kejadian yang sangat berkesan. Pertama pada saat aku klas III SMA, oleh Kepala Sekolah aku ditunjuk sebagai Ketua Panitia Perkenalan Murid baru. Nah pada acara Malam Penutupan, Ketua Panitia di”wajib”kan memakai jas. Padahal jelas aku tidak punya jas sendiri, mana mungkin. Akhirnya terpaksalah pinjam jas Almarhum yang juga cuma satusatunya. Maka terlaksanalah acara tersebut sesuai rencana.

Kedua, sampai dengan lulus SMA pada 1962, di rumah tidak punya telpon, dan selama itu pula aku belum pernah menggunakan telpon. Akibatnya, pada waktu masuk Akademi Angkatan Laut pangkat Kelasi Kadet, ketika bertugas sebagai Pengurus Dalam Gedung malam hari ada telpon berdering, aku bingung harus berbuat bagaimana. Karena telpon tidak diangkat, Bintara jaga Mayor Kadet marah-marah. dan jelas aku dapat hukuman push up 15 kali. Ini gara-gara belum pernah menggunakan telpon.

Ketiga, pada sekitar tahun 1970, kami baru beberapa bulan menikah dan tinggal di perumahan dinas di Kenjeran Surabaya. Suatu saat Almarhum berkunjung kerumah kami di Kenjeran, dan beliau melihat banyak ayam tetangga bebas berkeliaranan di pekarangan kami, karena tidak ada pagar pembatas. Walaupun keadaaan beliau sendiri terbatas, tetapi melihat puteranya sendiri keadaannya lebih terbatas, dan tidak mampu membuat pagar, maka Almarhum member uang sekedarnya yang cukup membuat pagar, maka Almarhum member uang sekedarnya yang cukup membuat pagar dari bambu, sekedar supaya ayam tetangga tidak bebas masuk. Luar biasa !

Terakhir suatu kenangan yang sampai sekarang terus aku pegang dan jalankan, sekaligus merupakan amanah Almarhum, yaitu : “ dalam setiap saat dan keadaan kamu harus selalu ELING “ Amanah untuk “eling” (ingat dan sadar) mengandung filosofi yang sangat dalam dan amat berguna supaya hidup kita selamat dalam lindungan Allah SWT, yaitu agar kita harus selalu ingat untuk menjalankan semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Amiiin.

Menjelang akhir tahun 1971, semua putera-puteri Almarhum, termasuk “si bungsu” yang baru saja menambah seorang cucu, semuanya telah berhasil menjadi pegawai negeri yang mandiri bahkan lebih baik dan lebih tinggi dari yang diperjuangkan dan dicita-citakannya. Oleh karena itu pantaslah perjuangan Almarhum yang tak kenal lelah itu dinyatakan telah tercapai, sehingga perjuangannya dapat dikatakan telah selesai, selanjutnya tinggal menikmati dan mensyukurinya. Almarhum telah betulbetul “sumeleh” secara fisik dan mental, menikmati hari tuanya ,sampai sampai akhirnya dipanggil menghadap Illahi dengan tenang pada tanggal 25 Desember 1985.

Aku “si bungsu” merasa bangga dan bersyukur mempunyai Ayah yang berjuang tak kenal lelah. Demikian beberapa kenanganku terhadap Almarhum. Semoga ada manfaatnya bagi generasi penerus.

Jakarta, 25 Desember 2010
Dalam rangka mengenang 25 tahun wafatnya Ayahanda tercinta Almarhum Kartodihardjo bin Djaja
(Sutanto – Generasi ke 1)

0 komentar:

Posting Komentar