Biography Eyang Kartodihardjo

Semasa hidupnya Almarhum adalah sosok yang disegani dan menjadi panutan para puteranya dan masyarakat di kampung kelahirannya. Beliau lahir tahun 1900 di Purwokerto, putera pertama Bapak Djaja, seorang petani sederhana, dan bersaudara dua orang, yaitu : Soemodihardjo dan Martoredjo. Beliau menikah dengan Soepinah, putera kedua dari pasangan Madarsan & Nidah yang berputera 6 orang, yaitu : Mohammad Dirsan, Soepinah, Ahmad Bedjo, Tolinah, Soedjinah dan Soekinah, semuanya sudah wafat kecuali Ny. Hj.Tolinah Rasidi yang saat ini masih tinggal di Purwokerto. Keturunan Madarsan ini berhimpun dalam paguyuban Keluarga Besar Madarsan (KBM).

Pasangan Kartodihardjo & Soepinah berputera 9 orang , yaitu secara berurutan : Soedargo, Soepijah, Soebandi, Soedirah, Soebagio, Soeharti, Soeharto, Soetono dan Soetanto. Semua puteranya lahir di Purwokerto pada masa penjajahan. Adapun putera yang pertama, kedua, dan kedelapan meninggal dunia pada usia masih balita, sedangkan yang lainnya berhasil melampaui usia dewasa dan berkeluarga. Hanya saja ada putera yang meninggal mendahuluinya, yaitu Soebagio pada tahun 1975, dan Soeharti tahun 1985.

Almarhum hidupnya sangat sederhana, karena profesinya hanya sebagai guru sekolah dasar di desa Purwokerto Kidul yang dijabatnya sejak muda sampai pensiun pada tahun 1955, dan setelah pensiun sampai wafat menjadi petani penggarap. Namun demikian, di balik kesederhanaan dan ekonomi yang terbatas, dengan didukung sang istri yang setia dan taat beragama, Almarhum mempunyai tekad yang membara berjuang untuk mendidik, membesarkan dan menyekolahkan semua puteranya, agar kelak bisa mandiri dan menjadi pegawai negeri yang terpandang, serta Iebih sukses daripada dirinya. Di hari tuanya, Almarhum berhasil memetik buah perjuangannya, semua puteranya menjadi pegawai negeri.

Di kalangan masyarakat di kampungnya, Almarhum dikenal juga sebagai orang yang jujur, disiplin, tidak banyak bicara, suka menolong, taat kepada agama dan keyakinannya, serta dianggap mempunyai kemampuan lebih untuk mengobati orang sakit, sehingga banyak orang yang minta tolong untuk disembuhkan, yang ternyata dengan seijin Allah Swt kebanyakan mereka bisa sembuh.

Selama hidupnya, Almarhum melakukan pola dan gaya hidup yang teratur dan disiplin serta bersikap “sumeleh” dan taat kepada Allah SWT, sehingga beliau dikaruniai umur yang relatif panjang dan akhirnya wafat dengan tenang di kediamannya pada tanggal 25 Desember 1985 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pancurawis, Purwokerto.

Semua hal yang baik dari Almarhum tersebut merupakan amanah dan menjadi suri teladan yang layak dilaksanakan dan ditumbuh kembang-kan sesuai kemajuan zaman oleh seluruh keturunan Almarhum yang telah bertekad untuk rukun, saling asah, asih dan asuh, serta menyatu dalam kebersamaan dan kesatuan di Paguyuban Keluarga Besar Kartodihardjo (PKBK). Amiin.

Sekapur Sirih

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridhoNya kepada kami, sehingga penyelenggaraan peringatan 25 tahun wafatnya Almarhum Kartodihardjo dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para Bapak/Ibu/Saudara yang telah berkenan memanjatkan doa untuk Almarhum agar arwah dan amalnya diterima oleh Allah SWT, dan mendapat tempat yang terbaik disisiNya, serta diampuni segala dosa dan kesalahannya.

Apabila dalam penyelenggaraan acara peringatan ini terdapat hal-hal yang kurang berkenan di hati Bapak/Ibu/Saudara, kami mohon maaf yang sebesarbesarnya.
Bertepatan dengan peringatan 25 tahun wafatnya Almarhum, kami menerbitkan Buku Kenangan ini untuk mengenang dan menghormati Almarhum yang berisi kumpulan doa dan foto-foto Almarhum dan keturunannya. Buku ini diharapkan sebagai semacam “pusaka” warisan Almarhum yang bisa digunakan oleh keturunannya sebagai sarana pemersatu Keluarga Besar Kartodihardjo dalam rangka mempererat kerukunan, lebih mengenal saudaranya, serta menyadari bahwa mempunyai satu “punjer” (cikal bakal) yang sama, yaitu Kartodihardjo bin Djaja.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Kenanganku Terhadap Perjuangan Ayah Yang Tak Kenal Lelah

 Sebagai anak bungsu yang lahir di Purwokerto pada 15 Pebruari 1944, aku betul-betul “koredan” atau akhir/sisa dari masakan orang tuaku. Masa balitaku berada di era penjajahan Jepang dan kemudian Belanda yang ingin menjajah kembali Negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Situasi dan kondisi perang gerilya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan tersebut menyebabkan aku ikut orang tuaku terpaksa mengungsi keluar kota, ke desa Karangrau sekitar 10 km dari Purwokerto. Kebetulan ada teman Alamrhum yang berbaik hati memberikan tempat menumpang selama mengungsi. Hidup di pengungsian pastilah serba sulit dan berat, sampai-sampai kakakku Soetono meninggal dunia dalam usia balita karena sakit dan kurang gizi.

Tahun 1950 aku masuk Sekolah Dasar (SD) di Purwokerto Kulon yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah. Berangkat dan pulang sekolah harus jalan kaki, karena tidak punya sepeda. Entah kenapa selama di SD aku tidak pernah diajar oleh Almarhum, walaupun beliau adalah Guru di sekolah tersebut. Namun demikian bila di rumah, Almarhum tetap mendidik disiplin dan mengawasiku dalam belajar. Almarhum terkenal sebagai seorang guru yang sangat disiplin dan professional serta berdedikasi tinggi berdedikasi tinggi, sehingga sangat disegani oleh murid-murid dan rekan-rekan guru lainnya. Aku ingat dan melihat sendiri beliau selalu membuat persiapan mengajar yang lengkap untuk esok harinya. Tulisan beliau sangat bagus dan tebal tipisnya teratur sangat rapi.

Tahun 1955 Almarhum pensiun dengan hormat sebagai Guru SD. Setelah pensiun, Almarhum tidak tinggal di rumah saja, tetapi terus berjuang untuk menghidupi keluarga dan biaya sekolah putera-puterinya. Beliau kemudian menjadi petani penggarap, menyewa sebidang sawah milik orang lain untuk dikerjakan dan dikelola. Salah satu hasilnya, aku dibelikan sepeda sebagai hadiah karena lulus SD dengan nilai terbaik di sekolah. Sepeda inilah yang kemudian aku gunakan untuk pergi pulang sekolah di SMP Negeri I di Kranji, dan SMA Negeri II B di Karangkobar, yang berjarak masing-masing sekitar 5 km dan 6 km dari rumah. 

Sejak sekolah SD sampai dengan SMA, aku tinggal sendiri serumah dengan Almarhum dan Ibu, karena kakak-kakakku tersebar di luar Purwokerto untuk melanjutkan sekolah atau bekerja. Kecuali mas Harto yang baru meninggalkan Purwokerto sekitar tahun 1953 ke Surabaya dan tinggal di rumah Mas Bandi untuk meneruskan sekolah SMA. Sedangkan aku sendiri meninggalkan Purwokerto setelah lulus SMA tahun 1962 untuk melanjutkan sekolah yang gratis yaitu di Akademi Angkatan Laut Surabaya.

Kesanku yang mendalam terhadap Almarhum justru setelah beliau pensiun, namun beliau terus berjuang, dengan bekerja sebagai petani penggarap, untuk membiayai hidup dan biaya sekolah putera-puterinya di luar Purwokerto. Pada periode masih dinas sebagai Guru, puteranya yang sudah bekerja baru Mas Bandi dan Yu Dirah. Sedangkan setelah pensiun, putera-puteri lainnya statusnya masih sekolah yang membutuhkan biaya. Dalam konteks inilah yang dimaksud dengan aku sebagai “koredan” yang relative tidak enak. Biasanya anak bungsu itu dimanja dan dapat fasilitas dan perlakuan yang lebih dari pada kakak-kakaknya. Tetapi bagiku tidak demikian halnya karena kondisi Almarhum dan keluarga memang tidak memungkinkan.

Semasa menjadi petani penggarap, pada saat persiapan dan masa tanam padi, pagi-pagi buta Amarhum berangkat ke sawah yang berjarak sekitar 2 km dengan bertelanjang dada menyandang cangkul untuk membuat “galengan” (pematang), membajak tanah dan sebagainya dengan dibantu beberapa orang sebagai pekerja upah harian. Siang hari, sepulang sekolah aku pergi ke sawah dengan menjinjing di tangan kanan sebuah bakul yang berisi makan siang yang dimasak oleh Ibu, dan di tangan kiri menjinjing sebuah “ceret” yang berisi air minum untuk Almarhum. Aku lihat betapa lahapnya Almarhum makan siang tersebut.(saat menulis ini aku tidak bisa menahan air mataku mengalir deras, karena terharu mengingat perpaduan perjuangan hidup Bapak dan Ibu yang tak kenal lelah demi masa depan putera-puterinya).Pada kesempatan tersebut aku tidak lupa bermain-main yang bermanfaat, yaitu menangkap belalang dan jangkrik serta belut yang ada di sekitar pematang sawah, yang hasilnya bisa digoreng atau dibakar di rumah oleh Ibu sebagai tambahan lauk pauk.

Pada saat “panen” (menuai padi) tiba , maka sesuai azas gotong royong , kebersamaan dan keadilan yang berkembang pada masa itu, maka yang menuai padi adalah masyarakat kampung dan sekitar secara bersama-sama, kemudian hasilnya bersama-sama dibawa ke rumah kita. Di depan rumah, mereka berjajar dengan hasil panenannya masing-masing, kemudian Almahum dan Ibu membagibagi, yang sepertiga untuk mereka, dan yang dua pertiga untuk kita sebagai pemilik/pengelola. Jadi dalam hal ini Almarhum telah melaksanakan azas gotong royong, kebersamaan dan keadilan secara konsisten.

Selanjutnya bagian yang untuk kita disimpan di “lumbung” (ruangan/kamar untuk menyimpan padi) dalam rumah. Pada saat tertentu sebelum menanak nasi, Ibu menumbuk padi itu terlebih dulu untuk dijadikan beras. Kadang-kadang Ibu mengajak beberapa orang untuk menumbuk padi tersebut bersama-sama, sehingga suaranya cukup ramai bertalu-talu.

Semasa menjadi petani penggarap, pada saat persiapan dan masa tanam padi, pagi-pagi buta Amarhum berangkat ke sawah yang berjarak sekitar 2 km dengan bertelanjang dada menyandang cangkul untuk membuat “galengan” (pematang), membajak tanah dan sebagainya dengan dibantu beberapa orang sebagai pekerja upah harian. Siang hari, sepulang sekolah aku pergi ke sawah dengan menjinjing di tangan kanan sebuah bakul yang berisi makan siang yang dimasak oleh Ibu, dan di tangan kiri menjinjing sebuah “ceret” yang berisi air minum untuk Almarhum. Aku lihat betapa lahapnya Almarhum makan siang tersebut.(saat menulis ini aku tidak bisa menahan air mataku mengalir deras, karena terharu mengingat perpaduan perjuangan hidup Bapak dan Ibu yang tak kenal lelah demi masa depan putera-puterinya).Pada kesempatan tersebut aku tidak lupa bermain-main yang bermanfaat, yaitu menangkap belalang dan jangkrik serta belut yang ada di sekitar pematang sawah, yang hasilnya bisa digoreng atau dibakar di rumah oleh Ibu sebagai tambahan lauk pauk.
Pada saat “panen” (menuai padi) tiba , maka sesuai azas gotong royong , kebersamaan dan keadilan yang berkembang pada masa itu, maka yang menuai padi adalah masyarakat kampung dan sekitar secara bersama-sama, kemudian hasilnya bersama-sama dibawa ke rumah kita. Di depan rumah, mereka berjajar dengan hasil panenannya masing-masing, kemudian Almahum dan Ibu membagibagi, yang sepertiga untuk mereka, dan yang dua pertiga untuk kita sebagai pemilik/pengelola. Jadi dalam hal ini Almarhum telah melaksanakan azas gotong royong, kebersamaan dan keadilan secara konsisten.

Selanjutnya bagian yang untuk kita disimpan di “lumbung” (ruangan/kamar untuk menyimpan padi) dalam rumah. Pada saat tertentu sebelum menanak nasi, Ibu menumbuk padi itu terlebih dulu untuk dijadikan beras. Kadang-kadang Ibu mengajak beberapa orang untuk menumbuk padi tersebut bersama-sama, sehingga suaranya cukup ramai bertalu-talu.

Semasa aku masih remaja sampai dengan SMP, rumah kita belum direnovasi, masih punya halaman, tanaman dan pohon sawo, Sedangkan dinding rumahnya masih “gedeg” (dinding dari bambu), lantainya tanah biasa dan belum ada listrik. Jadi pada waktu itu, kalau aku belajar malam menggunakan lampu “teplok” (minyak). Pohon sawo buahnya manis dan lebat. Kadang-kadang aku belajar atau membaca komik (cerita Mahabarata, Flash Gordon, Suku Apache) di atas pohon sawo karena rimbun dan angin sumilir. Selain itu pekarangannya ditanami bunga melati yang cukup banyak. Buah sawo dan bunga melati inil dijual ke pasar oleh Ibu untuk menambah uang belanja. Disamping itu, memang Ibu secara rutin berjualan makanan ke pasar. Yang memasak/membuat Ibu sendiri. Bila hari libur atau masuk sekolah siang, kadang aku yang membantu Ibu mengantar jualan tersebut ke pasar.

Selain itu tugasku setiap hari “nyirami” tanaman bunga melati dan pohon sawo supaya bisa tumbuh subur. Hasil jualan ini cukup lumayan bisa membantu meringankan Almarhum untuk membiayai sekolah putera-puterinya.

Dalam kehidupan sehari-hari setelah pensiun, yang aku lihat dan rasakan adalah bahwa Almarhum adalah seorang pekerja keras, tidak banyak bicara, jarang marah, taat kepada agama dan keyakinannya, pola hidup dan pola makannya teratur, dispiln dan disegani masyarakat. Almarhum juga mempelajari “ilmu Kejawen” yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari, makannya teratur, dispiln dan disegani masyarakat. Almarhum juga mempelajari “ilmu Kejawen” yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya beliau mempunyai kebiasaan bila makan, pasti ada yang disisakan. Filosofinya adalah selalu memikirkan dan mempersiapkan sesuatu untuk keturunannya. Bangun pagi selalu lebih dini, sekitar jam tiga atau empat , lalu mandi dan mencuci baju/pakaian puteranya. Filosofinya adalah beliau ingin membersihkan dosadosa/
kesalahan keturunannya. Setelah itu selalu jalan pagi keluar sampai 1 jam, tidak ada rasa takut, karena yakin “ada yang menjaga dan melindunginya”. Jalan pagi ini kenyataannya memang olah raga yang murah, baik dan menyehatkan.

Selain itu, oleh masyarakat sekitar beliau dianggap mempunyai kelebihan bisa mengobati orang yang sakit. Aku sering melihat bila ada orang datang meminta tolong untuk disembuhkan sakitnya, maka Almarhum lalu masuk kamar dengan membawa gelas berisi air putih. Beberapa saat kemudian beliau keluar dan memberikan gelas yang berisi air tersebut kepada “pasiennya” untuk diminum. Ternyata kebanyakan dari mereka yang minta tolong tersebut dengan seijin Allah Swt. bisa sembuh.

Berkaitan dengan keterbatasan dan kesederhanaan Almarhum, ada beberapa kejadian yang sangat berkesan. Pertama pada saat aku klas III SMA, oleh Kepala Sekolah aku ditunjuk sebagai Ketua Panitia Perkenalan Murid baru. Nah pada acara Malam Penutupan, Ketua Panitia di”wajib”kan memakai jas. Padahal jelas aku tidak punya jas sendiri, mana mungkin. Akhirnya terpaksalah pinjam jas Almarhum yang juga cuma satusatunya. Maka terlaksanalah acara tersebut sesuai rencana.

Kedua, sampai dengan lulus SMA pada 1962, di rumah tidak punya telpon, dan selama itu pula aku belum pernah menggunakan telpon. Akibatnya, pada waktu masuk Akademi Angkatan Laut pangkat Kelasi Kadet, ketika bertugas sebagai Pengurus Dalam Gedung malam hari ada telpon berdering, aku bingung harus berbuat bagaimana. Karena telpon tidak diangkat, Bintara jaga Mayor Kadet marah-marah. dan jelas aku dapat hukuman push up 15 kali. Ini gara-gara belum pernah menggunakan telpon.

Ketiga, pada sekitar tahun 1970, kami baru beberapa bulan menikah dan tinggal di perumahan dinas di Kenjeran Surabaya. Suatu saat Almarhum berkunjung kerumah kami di Kenjeran, dan beliau melihat banyak ayam tetangga bebas berkeliaranan di pekarangan kami, karena tidak ada pagar pembatas. Walaupun keadaaan beliau sendiri terbatas, tetapi melihat puteranya sendiri keadaannya lebih terbatas, dan tidak mampu membuat pagar, maka Almarhum member uang sekedarnya yang cukup membuat pagar, maka Almarhum member uang sekedarnya yang cukup membuat pagar dari bambu, sekedar supaya ayam tetangga tidak bebas masuk. Luar biasa !

Terakhir suatu kenangan yang sampai sekarang terus aku pegang dan jalankan, sekaligus merupakan amanah Almarhum, yaitu : “ dalam setiap saat dan keadaan kamu harus selalu ELING “ Amanah untuk “eling” (ingat dan sadar) mengandung filosofi yang sangat dalam dan amat berguna supaya hidup kita selamat dalam lindungan Allah SWT, yaitu agar kita harus selalu ingat untuk menjalankan semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Amiiin.

Menjelang akhir tahun 1971, semua putera-puteri Almarhum, termasuk “si bungsu” yang baru saja menambah seorang cucu, semuanya telah berhasil menjadi pegawai negeri yang mandiri bahkan lebih baik dan lebih tinggi dari yang diperjuangkan dan dicita-citakannya. Oleh karena itu pantaslah perjuangan Almarhum yang tak kenal lelah itu dinyatakan telah tercapai, sehingga perjuangannya dapat dikatakan telah selesai, selanjutnya tinggal menikmati dan mensyukurinya. Almarhum telah betulbetul “sumeleh” secara fisik dan mental, menikmati hari tuanya ,sampai sampai akhirnya dipanggil menghadap Illahi dengan tenang pada tanggal 25 Desember 1985.

Aku “si bungsu” merasa bangga dan bersyukur mempunyai Ayah yang berjuang tak kenal lelah. Demikian beberapa kenanganku terhadap Almarhum. Semoga ada manfaatnya bagi generasi penerus.

Jakarta, 25 Desember 2010
Dalam rangka mengenang 25 tahun wafatnya Ayahanda tercinta Almarhum Kartodihardjo bin Djaja
(Sutanto – Generasi ke 1)

Kesan Terhadap Eyang Kartodihardjo

“Suatu saat ketika saya pulang liburan kuliah dari Jerman, di dalam perbincangan di teras rumah Purwokerto, tiba-tiba Eyang tanya: “apakah ada Dosen saya yang ‘galak’...”. Sekarang saya baru sadar, bahwa beliau waktu itu menangkap firasat bahwa cucu pertamanya ini bakalan kuliah lama sekali di Jerman..."

"Terakhir kali saya bercengkerama di teras Purwokerto dengan Eyang Kakung adalah sewaktu saya pulang liburan kuliah dari Jerman. Eyang kali ini bercerita dan sangat bangga terhadap putranya, yaitu almarhum om Bagio yang pernah mendapat kepercayaan dari Presiden Suharto (sewaktu almarhum menjadi Panitia Pernikahan mbak Tutut di Istana Bogor). Ketika itu, saya sempat berpikir kok bukan Bapakku yang diceritakannya. Namun tentunya, siapa berani menyela. Beliau terlihat bersukacita dalam bercerita terlebih pada saat menceritakan bahwa Pak Harto memberikan kenang-kenangan Keris yang bagus kepada almarhum om Bagio sebagai tanda terima kasihnya."

“Di mata saya, tentu adik-adik semua memperhatikan juga, bahwa Eyang Kakung adalah pribadi yang disiplin, hidup dengan rutinitas yang teratur, suka berbusana rapih, cenderung terkesan pendiam, namun perhatian sekali kepada cucucucunya.”

( Hari Subandi )

Sepenggal kisahku bersama Eyang

“Malam itu kami berkumpul di ruang keluarga ndalem Purwokerto. Ada Mbah Kakung, Bapak, dan kami semua. Bersama kami berbincang malam sembari nonton TV dengan sajian mendoan dan kue khas Purwokerto di meja. Waktu menunjukkan pukul 11 malam, dan hari itu kami baru tiba dari perjalanan dari Surabaya. Ditengah diamnya tiba-tiba Mbah Kakung berkata yang ditujukan kepada Bapak: “Bandi, sana kamu tidur, istirahat. Sekarang sudah larut malam.”. Saya yang ada disekitar kaget dan geli. Ternyata bapakku yang sudah berkeluarga dan semapan itu tetaplah dipandang sebagai “anak” oleh Mbah Kakung yang disuruh tidur bila sudah larut malam. Satu pelajaran saya petik. Sampai kapanpun, di mata orang tua, kita tetaplah “anak” bagi mereka.
“Ditengah diamnya Mbah Kakung, beliau sangat senang main mercon. Beliau beli khusus dan menyimpan untuk cucu-cucunya saat Lebaran. Biasanya pas sore hari menjelang Maghrib beliau duduk di beranda dengan setelan baju rapihnya, dan mengenakan sandal kulit model silang merek “Bata”. Beliau terseyum sambil mengedip-ngedipkan matanya,…., tampak senang melihat cucu-cucunya bermain petasan.

( Edi Soebandi )

Pujo Puji Ing Ngasepi Saking Eyang Kagem Putro Wayah

Bismillahi Rohmaani Rohiim.

Duh Gusti Allah,
Sesembahan kawula ingkang sejati,
Inggih Pangeran ingkang Maha Suci,
Inggih Pangeran ingkang Maha Kuwaos,
Inggih Pangeran ingkang Maha Wicaksana,
Inggih Pangeran ingkang Akarya Jagat,
Inggih Pangeran ingkang Maha Mirah,
Inggih Pangeran ingkang Maha Sampurna,
Inggih Pangeran ingkang Murba Kamiseso,
Inggih sasembahaning Sadaya Umat.

Kawula nyuwun kanthi palaksaning manah mugi mugi wonten kepareng Paduka tansah paring berkah, pangestu, rohmat ridayah saha inayah dumateng jasad kawula saha anak turun kawula sedaya sageta sedaya urusan kawula deres saha tansah kecekapan gesang kawula sakukuban.

Dene anak turun kawula samiya dados tiyang ingkang utami, kasinungan derajad, semad lan keramat, dadosa tiyang ingkang berbudi bawa leksana, mumpuni sageng ngelmu mrantasi sedaya pakaryan, tansah suyud dumateng Pangeranipun, tansah bekti dumateng leluhuripun, tansah handemenakaken Rama tuwin Ibunipun, tansah guyup lan rukun kaliyan sederek sederek ipun, tansah kacekapan gesangipun, saha tansah hanggadahana raos tresna lan asih dumateng sesami ing gesang.

Ing salajengipun kinalisna ing sedaya rubedanipun lan cinakethna dumateng sedaya rejekinipun

Amin, amin, amin Yaa Robbal Alamin.

Doa untuk Almarhum Kartodihardjo

Al Fatihah....

“ Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Astagfirullah Al Adhim................3x

Allhamdu lillaahir rabbil'aalamin, hamdan yuwaafii ni'amahu wayukaafii maziidahu,
Ya rabbana lakal hamdu kamaa yambaghil lijalaali wajhika wa'azhiimi sulthaanika.

Rabbighfirlii waliwaa lidayya warhamhumaa kama rabbayaani shagiiraa.
Allahuma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad.

Duhai AllahYang Maha Mendengar. Tiada Tuhan selain Engkau wahai yang Maha segalanya. Hanya Engkau yang menjanjikan dikabulkannya doa-doa. Segala puji bagi Allah yang telah memerintahkan kami untuk bersyukur dan berbuat balk kepada Almarhum. Yang telah mendorong kami untuk berbakti dan berlaku lembut kepada Almarhum... Yang telah menganjurkan kami untuk merendahkan diri kepada Almarhum dengan penuh kasih sayang, sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan. Yang mewasiatkan kami untuk memohonkan kasih sayang Allah bagi Almarhum, sebagaimana Almarhum mengasihi kami sewaktu kami kecil.

Ya Allah... mohon ampunilah Almarhum dengan pengampunan yang menyeluruh.... menghapus dosa-dosa dan kesalahannya terdahulu....

Ya Allah.... mohon rahmatilah Almarhum dengan rahmat yang mampu menerangi pembaringannya di alam kubur....serta menyelamatkannya pada saat kebangkitan di hari yang menakutkan kelak....

Ya Allah....mohon karuniailah Almarhum pahala atas perjuangannya dahulu dalam mendidik kami, dan jangan sia-siakan perjuangan tersebut....

Ya Allah....bersikap lembutlah kepada Almarhum di pembaringan kubur dengan kelembutan yang melebihi sikap lembutnya kepada kami semasa hidupnya... Ya Allah....mohon jadikanlah kami penyejuk hati baginya di hari para saksi berdiri sebagai saksi, dan perdengarkanlah kepadanya sebaik-baik seruan ketika Sang Penyeru berseru....

Ya Allah....mohon pertemukanlah kami dengan Almarhum dan seluruh muslimin di “negeri yang mulia”, di tempat curahan rahmat Mu, dan kediaman para Wali Mu, bersama para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan bersama para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Sholihin....ltulah karunia Allah yang tertinggi, dan Dialah sebaik-baik pemberi karunia.

Rabbana aatina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qina Adzabannar....

Waakhidnal jannata ma'al abrar, Ya Azizu Ya Ghoffar Ya Rabbal Alamiin...

Rabbana taqobball minna innaka anta samiul 'alim, watub alayna innaka antattawaburrahim....

Subahaana rabbana rabbil 'izzati 'ammaa yaashifun, wassalamun alal mursaliin...
Walhamdulillahi rabbil alamin...